Tokyo, Kompas - Kinerja ekspor kertas dari Indonesia ke Jepang, yang selama ini memberikan kontribusi besar pada perolehan ekspor nonmigas, terganjal isu lingkungan yang diajukan oleh World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia dan Jepang. Hal ini berakibat beberapa produsen Jepang yang selama ini menjadi konsumen kertas dari Indonesia merasa khawatir jika mereka dituding bahwa produk yang mereka hasilkan atau gunakan tidak ramah lingkungan. Dampaknya, laju ekspor kertas ke negara itu menjadi terganjal.
"Masalah ini bagi kami sangat serius. Oleh sebab itu, kami berharap ada dukungan dari KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia), Kadin Indonesia, maupun pemerintah agar membantu menjelaskan bahwa produk kertas yang diekspor bukan dari hasil tidak ramah lingkungan. Semua produk yang dihasilkan oleh produsen Indonesia, khususnya APP (Asia Pulp and Paper) dari hutan legal dan hutan tanaman industri," kata Vice President APP Japan Limited Tan Ui Sian, Selasa malam (27/4), di Tokyo, Jepang, seperti dilaporkan wartawan Kompas Banu Astono.
Menurut data, menurut Tan, ekspor kertas dan produk kertas (HS 48) Indonesia ke Jepang pada tahun 2003 tercatat sekitar 367 juta dollar AS. Dengan nilai ekspor sebesar itu, Indonesia menguasai pangsa pasar sekitar 15 persen. "Dari total ekspor Indonesia itu, APP memasok sekitar 85 persen ke tiga importir besar, yakni Askul Co, Kokuyo, dan Ricoh Co," ujarnya.
Akan tetapi, sejak tahun 2003, APP menghadapi permasalahan lingkungan dengan WWF dan permasalahan itu semakin membesar pada awal tahun 2004 ketika pihak WWF Jepang meminta kepada APP menggunakan standar penilaian lingkungan lebih tinggi, seperti persyaratan WWF.
Persoalan ini relatif bisa diatasi setelah dilakukan audit lingkungan dan beberapa importir Jepang yang selama ini mengambil produk APP bisa menerima, tetapi untuk Ricoh tidak. Manajemen Grup Ricoh sejak Juni tahun 2003 meminta semua rekanannya untuk memenuhi persyaratan tersebut. Tanggal 18 Agustus 2003 Ricoh Co mengirimkan persyaratan yang harus dipenuhi APP.
Persyaratan yang diminta Ricoh hampir sama dengan yang diminta WWF. Diharapkan jawaban dari APP sudah diterima bulan Oktober 2003. Akan tetapi, jawaban baru dapat disampaikan tanggal 27 Februari 2004 dan isinya pun tidak bisa diterima pihak Ricoh. Mereka memberi lagi batas waktu pemenuhan persyaratan itu sampai 12 April 2004. Tetap saja mereka belum puas, dan APP diberi kesempatan ketiga.
"Selama tiga bulan ini kami masih bisa melakukan ekspor. Jika sampai batas waktu tiga bulan tak juga mereka anggap kami bisa memenuhi standar, ekspor itu kemungkinan akan terhenti. Ini persoalan serius bagi kami dan ekspor nonmigas nasional," kata Tan.
Karena itu, APP akan pakai dua penilai asing, kata Tan, untuk kembali membuat penilaian tentang proses produksi plus pengadaan bahan bakunya, apakah APP melanggar ketentuan lingkungan atau tidak. Ini harus dilakukan secepatnya.
Menurut Atase Perindustrian dan Perdagangan Tokyo Husin Bagis, untuk memenuhi standar lingkungan yang diinginkan WWF bukan hal mudah. Menurut data, hanya lima persen produk kertas dunia yang dapat memenuhi persyaratan dimaksud. Jadi, Atase Perindustrian dan Perdagangan membantu APP untuk mengadakan pembicaraan dengan pihak Jepang dan WWF Indonesia maupun Jepang soal langkah yang dilakukan mereka dalam pengelolaan hutan di Provinsi Riau.
"Saat ini KBRI telah mengadakan pendekatan dengan pihak-pihak terkait di Jepang seperti Kementerian Lingkungan, Menteri Ekonomi Perdagangan dan Industri, Keidanren, termasuk pendekatan kepada tiga importir itu. Hasilnya untuk sementara waktu, importir-Kokuyo dan Askul-dapat mengerti. APP masih bisa ekspor dalam tiga bulan ini sampai persyaratan dipenuhi," katanya.*